Blog ini masih dibangun...
Haruskah Berhenti Makan Sebelum Kenyang?
Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: Bagaimana keshahihan hadits berikut:
نَحْنُ قَوْمٌ لاَ نَأْكُلُ حَتَّى نَجُوْعَ وَإِذَا أَكَلْنَا لاَ نَشْبَعُ
“Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.“
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab:
Hadits
ini memang diriwayatkan dari sebagian sahabat yang bertugas sebagai
utusan, namun sanadnya dhaif. Diriwayatkan bahwa para sahabat tersebut
berkata dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam:
نَحْنُ قَوْمٌ لاَ نَأْكُلُ حَتَّى نَجُوْعَ وَإِذَا أَكَلْنَا لاَ نَشْبَعُ
“Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.“
Maksudnya yaitu bahwa kaum muslimin itu hemat dan sederhana.
Maknanya benar, namun sanadnya dhaif, silakan periksa di Zaadul Ma’ad dan Al Bidayah Wan Nihayah. Faidahnya, bahwa sebaiknya
seseorang baru makan jika sudah lapar atau sudah membutuhkan. Dan
ketika makan, tidak boleh berlebihan sampai kekenyangan. Adapun rasa
kenyang yang tidak membahayakan, tidak mengapa. Karena orang-orang di
masa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dan masa selain mereka pun pernah makan sampai kenyang. Namun mereka menghindari makan sampai terlalu kenyang.
Terkadang Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mengajak
para sahabat ke tempat sebuah jamuan makan. Kemudian beliau menjamu
mereka dan meminta mereka makan. Kemudian mereka makan sampai kenyang.
Setelah itu barulah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam makan beserta para sahabat yang belum makan.
Terdapat hadits, di masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, ketika sedang terjadi perang Khandaq, Jabir bin Abdillah Al Anshari mengundang Nabi shallallahu ’alaihi wasallam untuk memakan daging sembelihannya yang kecil ukurannya beserta sedikit gandum. Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mengambil
sepotong roti dan daging, kemudian beliau memanggil sepuluh orang untuk
masuk dan makan. Mereka pun makan hingga kenyang kemudian keluar. Lalu
dipanggil kembali sepuluh orang yang lain, dan demikian seterusnya.
Allah menambahkan berkah pada daging dan gandum tadi, sehingga bisa
cukup untuk makan orang banyak, bahkan masih banyak tersisa, hingga
dibagikan kepada para tetangga.
Dan suatu hari, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menyajikan susu pada Ahlus Shuffah (salah satunya Abu Hurairah, pent). Abu Hurairah berkata: “Aku minum sampai puas.” Kemudian Nabishallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Ayo minum lagi, Abu Hurairah.“ Maka aku minum. Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Ayo minum lagi.“ Maka aku minum lagi.
Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Ayo minum lagi.“
Maka aku minum lagi, lalu aku berkata “Demi Dzat yang mengutusmu dengan
kebenaran, tidak lagi aku dapati tempat untuk minuman dalam tubuhku”.
Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mengambil susu yang
tersisa dan meminumnya. Semua ini adalah dalil bolehnya makan sampai
kenyang dan puas yang wajar, selama tidak membahayakan.
Kesimpulan:
Tidak
mengapa makan sampai kenyang, asal tidak berlebihan dan membahayakan
dirinya, berdasarkan pada beberapa kisah para sahabat yang disebutkan di
atas. Adapun riwayat tentang berhenti makan sebelum kenyang statusnya
lemah, jadi tidak bisa digunakan sebagai dasar hukum. Penilaian serupa
juga disampaikan oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam Minhajul
Muslim, "Saya tidak mengetahui siapa yang mengeluarkan riwayat tersebut,
sepertinya itu hanya atsar dari sahabat ridwanullah 'anhum dan bukan hadits nabawi, Wallahu a'lam." (Minhajul Muslim, hal. 99)
(PurWD/voa-islam.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Currently have 0 komentar: